img-brand
img-brand-parawira
Language
img-detail
Kisah Pariwara

Penangkapan Raden Saleh & Perlawanan Pada Pemerintah Kolonial

9 Februari 2024
Oleh Ramadhian Fadillah

Penyidik menemukan surat bertanda tangan Raden Saleh saat menangkap salah satu pemimpin pemberontakan. Sejumlah pemberontak pun mengakui jika Raden Saleh adalah pemimpin mereka.

Dengan mengantongi dua alat bukti ini, Hoogeveen kemudian memanggil Raden Saleh untuk dimintai keterangan di kediaman Residen. Raden Saleh yang tidak menaruh kecurigaan sama sekali memenuhi panggilan Hoogeveen. Ternyata Residen Batavia itu sudah mempersiapkanpenangkapan.

Raden Saleh melukiskan suasana penangkapan tersebut dengan cukup detil. Saat dia masuk keruangan, semua pejabat Belanda itu menatapnya dengan tajam. “Raden Saleh, saya tak menyangka engkau akan melakukan perbuatan seperti ini,” ujar Hoogeveen dengan nada marah.

Raden Saleh tidak mengerti permasalahan apa yang sedang menimpanya. Residen Batavia dan sejumlah pejabat menudingnya terlibat pemberontakan petani. Raden Saleh juga disebut ikut dalam pesta yang diadakan para pemberontak pada tanggal 14 Maret 1869 di Ratu Jaya Depok, beberapa saat sebelum memulai pemberontakan.

Raden Saleh menepis semua tuduhan Hoogeveen. Dia mengaku tidak pernah meninggalkan Buitenzorg. Dia juga sama sekali tidak tahu soal pesta di Ratu Jaya. Bahkan lokasinya pun dia tidak tahu. Apalagi sampai bergaul dengan para pemberontak.

Karena Raden Saleh tidak mau mengaku, Hoogeveen kemudian memerintahkan rumah Raden Saleh digeledah. Pelayan dan kusir Raden Saleh telah diikat oleh polisi. Suasana sangat tegang.

Istri Raden Saleh, Raden Ayu Danudirja, tak henti-hentinya menangis. Bangsawan muda yang baru dinikahi pelukis tersebut, tak pernah menyangka akan diperlakukan seperti seorang pemberontak.

Rumah tersebut digeledah dengan cermat. Setiap sudut diperiksa. Buku dan surat-surat dipelototi dengan teliti. Namun mereka tidak menemukan apa-apa. Hoogeveen tak puas. Dia kemudian membawa Raden Saleh untuk dikonfrontir dengan para pemberontak yang tertangkap di Depok.

Di Depok, permasalahan ini menjadi jelas. Seorang pemimpin pemberontak bernama Bapak Kolot, ternyata mengaku sebagai Raden Saleh. ‘Raden Saleh’ palsu inilah yang kemudian menggelorakan pemberontakan petani di Tambun, Bekasi, pada bulan April 1869.

Pemberontakan dipicu oleh kondisi buruk yang dialami para petani. Kemiskinan dan penindasan membuat rakyat kecil sengsara. Kehidupan yang serba sulit membuat mereka berencana merebut tanah leluhur mereka yang dikuasai oleh Belanda dan tuan tanah.

Pemberontakan petani di Bekasi, dimulai dari sebuah pesta di Desa Ratu Jaya dekat Depok.Dalam pesta itu tampil seorang pria dengan mengenakan busana Jawa lengkap dengan aneka medali. Medali itu sebenarnya hanya koin logam yang dihias manik-manik. Orang itu diperkenalkan sebagai Raden Saleh. Tentu saja bukan Raden Saleh asli, melainkan salah satu pimpinan pemberontakan bernama Bapak Kolot.

Para pemberontak terinspirasi sosok Ratu Adil atau Mesias yang bisa membebaskan mereka. Sosok itu pada zaman tersebut, mereka lihat pada Raden Saleh yang dinilai punya banyak kelebihan.

“Petani Sunda beranggapan bahwa Raden Saleh bebas bergerak di dunia orang kulit putih, dansering dikunjungi orang Eropa pasti punya kekuatan gaib yang luar biasa. Sebab, mana mungkin seorang jawa meraih kepercayaan dari tuan-tuan kolonial?” ujar Werner Kraus dalam Awal Seni Rupa Indonesia Modern.

Aksi mereka berkembang menjadi sebuah pemberontakan. Tanggal 3 April 1869, para petani menyerang wilayah Tambun Bekasi. Asisten Resident Meester Cornelis tewas dalam pemberontakan. Belanda mengerahkan militer untuk menumpas para pemberontak. Sebagian pemberontak digantung di alun-alun Bekasi untuk membuat takut rakyat yang mau berpikir serupa.

Soal surat pun menjadi terang. Bapak Kolot memang pernah berurusan dengan Raden Saleh. Namun hubungan mereka sangat jauh dengan soal-soal pemberontakan.

Tahun 1867, Raden Saleh diminta oleh Ketua Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Mr. A. London untuk mencari barang-barang kuno untuk melengkapi koleksi perkumpulan tersebut.

Raden Saleh meminta bantuan beberapa orang pribumi. Salah satunya, seorang pria yang mengaku bernama Bapak Kolot. Dia datang kepada Raden Saleh dan mengaku bisa mencarikan barang-barang seperti prasasti dan arca peninggalan Hindu-Buddha.

Bapak Kolot meminta surat pengantar kepada Raden Saleh. Tanpa curiga, permintaan itu pun dikabulkan. Dia tak menyangka surat ini akan berakibat buruk olehnya di kemudian hari. Surat kuasa inilah yang kemudian ditemukan saat polisi menangkap Bapak Kolot.

Raden Saleh dinyatakan tak bersalah dalam kejadian ini. Dia pun dibebaskan kembali. Namun Belanda menugaskan seorang mata-mata untuk menjadi pelayan Raden Saleh. Kehidupan Raden Saleh memang tak pernah lepas dari pengawasan, bahkan sejak Raden Saleh masih berusia muda.

Belanda selalu mencurigai Raden Saleh diam-diam mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro. Sosok Diponegoro erat kaitannya dengan pribadi Raden Saleh. Saudara SepupuRaden Saleh, Raden Sukur dari Semarang berjuang di barisan Diponegoro melawan Belanda. Sementara Paman Raden Saleh, Suradimanggala dan putera keduanya ditangkap Belanda dandiasingkan.

Melawan Kolonial Lewat Simbol

Salah satu lukisan legendaris Raden Saleh adalah Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan itu merupakan antitesa dari lukisan Nicolaas Pieneman yang berjudul Penyerahan Diri Diponegoro kepada Letnan Jenderal De Cock, 28 Maret 1830, Yang Mengakhiri Perang Jawa.

Pieneman melukis Diponegoro pasrah menyerah. Bahasa tubuhnya menggambarkan SangPangeran benar-benar takluk pada Jenderal De Cock.

“Di sana tidak ada bantahan, tidak ada kehebohan, dan melalui sandiwara yang dangkal sertamengejek, bekibar bendera tiga warna Belanda,” beber Werner Kraus.

Raden Saleh mengetahui wafatnya Pangeran Diponegoro dari sebuah artikel tanggal 3 Februari 1855. Sesaat setelah itu, dia memutuskan untuk melukis penangkapan pejuang Perang Jawa tersebut.

Raden Saleh meminta izin pemerintah Belanda untuk melakukan penelitian ke Magelang. Tempat penangkapan Diponegoro di kediaman Residen Kedu. Namun Pemerintah Kolonial tidakmemberikan izin. Namun Raden Saleh pernah mengunjungi Magelang tahun 1852 dan 1853. Dia sudah punyagambaran yang baik tentang lokasi penangkapan tersebut.

Raden Saleh mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menyelesaikan lukisan Diponegoro. Ini merupakan pengalaman pertama baginya menggambar 40 orang lebih dalam satu lukisan. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melukis, kemungkinan di studio.

Diponegoro dalam lukisan Raden Saleh menunjukkan air muka penuh amarah dan sikap menantang. Raden Saleh menempatkan Diponegoro dan Jenderal De Cock dalam satu tingkattangga yang sama. Berbeda dengan Pieneman yang melukis Diponegoro berada lebih rendah.

Lewat simbol, Raden Saleh melukiskan Jenderal De Cock berada di sisi kiri. Melambangkan ketidakjantanan. Pasif dan kelihatan tak bertenaga. Sementara di sisi Kanan, melambangkankejantanan dan sikap aktif. Puncaknya, Raden Saleh melukiskan orang-orang Belanda berkepalabesar. Hal ini mengingatkan masyarakat pada sosok hantu jahat di Jawa yang berkepala besar.

Lukisan yang telah selesai tahun 1857, kemudian diserahkan pada Raja Willem III. Oleh raja Belanda, lukisan tersebut kemudian disumbangkan ke rumah jompo militer di Broenbeek. Dari sana, tahun 1975 lukisan itu sampai di Indonesia sebagai hadiah dari keluarga kerajaan Belanda.**

Referensi:

1. Achmad, Katherina (2012): Kiprah, Karya, dan Misteri Kehidupan Raden Saleh:Perlawanan Simbolik Seorang Inlander. Yogyakarta: Narasi

2. Carey, Peter BR, Ong Hok Ham, Harsja W Bachtiar (2022): Raden Saleh, Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme. Depok: Komunitas Bambu

3. Hong, Goan (1914): Hikajat Almarhoem Raden Saleh. Batavia: Toko Buku Goan Hong & Co

4. Kraus, Werner dan Irina Vogelsang (2012): Raden Saleh, Awal Seni Lukis ModernIndonesia. Jakarta: Goethe Institut

SHARE
img-plan-visit

Rencanakan Kunjunganmu!

Kunjungi Galeri Bumi Parawira dan jelajahi kisah-kisah kepemimpinannya, gratis!